men[telanjang]i pilihan ~ lebenswelth

Bienvenido

men[telanjang]i pilihan

Minggu, 27 Desember 2009

Dalam cinta seringkali kebungkaman lebih berlaku dari pada percakapan –Pascal

Dalam petuahnya Either/Or, A Fragment of life (1944), Kierkegaard tidak pernah membiarkan kekahawatiran eksistensial dan kesangsian hidup begitu saja. Ia selalu mengurut nasib dalam kegalauan hidup yang dramatis nan tragis. Ia membisikan kegelisahannya ditelingaku, takala aku sedang dirundung duka dan ketidakpastiaan dalam mengarungi semesta hidup.
“Tiap orang yang belum merasakan pahitnya rasa putus asa berarti telah kehilangan arti kehidupan, walaupun ia hidup dengan senang dan indah”.

Sebuah fenomena objek manusia selalu dihadapkan pada persoalan “pertentangan”, ada kebaikan selalu mengandaikan adanya kejahatan, kita mengenal siang karena malam sudah lewat. Begitulah seterusnya dalam menjalani kehidupanku yang penuh dengan rasa bimbang, penuh dengan kegamangan. Tak pernah ada yang memahami eksistensiku dan memaknai ke-ber[Ada]-didunia. Aku tahu dimana harus memulai, tapi tak tahu dimana harus mengakhiri. Aku selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan (alterasi). Aku harus mengambil keputusan di dalam ber-eksistensi, walaupun dalam pengambilan keputusan itu selalu didasari atas kuasa nalar, intuisi, atau rasa belas kasihan.

Apa yang aku rasakan hari ini, sama dengan apa yang kurasa waktu pertama kali aku jumpa denganmu. Di depan Stand Aqfil, kala itu aku masih bingung menafsirkan penampakan wujudmu. Waktu terus berubah menandakan sebuah proses kejadian dari logos semesta. Karena ia tunduk pada ketetapan kosmos maka segala makhluk yang ada didalamnya tak bisa menegasikan dirinya pada apa konsep ke-meruang-an dan ke-mewaktu-an yang telah menjadi ketetapannya. Pikiranku bercengkrama dengan sesuatu yang sudah terefleksikan oleh daya indrawi. Ia hadir dalam segenap mistery semesta. Karena yang eksis adalah rasio [nalar] bukanlah sebongkah materi yang fana. Seperti petuah para atomis yang memandang pikiran, dan perasaan tak lain dari sebentuk materi semata. Akan tetapi di bantah oleh gumam Descartes dari atas kasur; Cogito Ergo Sum―aku berfikir maka aku ada. Hingga akhirnya aku tersadar sudah terperosok pada jurang Solipsisme. Karena hanya pikirankulah yang eksis.

Detik ini, dalam kesunyatan gelap. Dimana bulan setengah telanjang bercermin dalam malu, bercengkrama pada kesunyian tiada bebintang menemaninya. Dalam temaran cahaya bulan yang remang-remang; bayang wajahmu hadir dalam tarian awan yang nampak putih dibalut nyanyian angin yang penuh syahdu melantunkan syair penuh dengan nada kepesimisan. Tatapannya kini mencurigakan. Seolah-olah ia hendak menikamku dari keterjagaan. Penuh dengan seribu teka-teki yang menuntut untuk segera dijawab, namun setiap persoalan yang hendak dijawab selalu mengandaikan munculnya pertanyaan-pertanyaan baru. Hingga akhirnya aku hanya pasrah, tertunduk, diam, telungkup dan telanjang membelakangi arah kegelapan.

Sudah sekian lama aku larut dalam kesendirian, ditemani sunyi dan sedikit rasa cemas. “Apakah percakapan kemarin akan terulang lagi?. Gumamku dalam sadar”
Hadirmu membuat aku selalu ditikam gelisah menyulam hari-hari esok. Kegalauan penuh dengan kecemasan akan rasa rindu yang tak bisa terbendung lagi. Aku takutkan semacam kamu tidak respon terhadap kegelisahan perasaanku selama ini. Sadarkah engkau? Yang telah menelanjangi perasaanku hingga aku tersungkur dan terjatuh pada lubang kegelapan, akan ketidak pastian dan ketaktentuan arah.

Aku tidak akan pernah bisa melupakan pengalaman kita berdua. Bila aku ingat, aku selalu tertawa lalu termenung memikirkan sepenggal kisah yang pernah kita lewati dalam percakapan kemarin dibawah rindang pohon depan Fakultas Ushuludin. Diktum perasaanku telah terpahat, menggantung di atas langit, tertancap sebagai pasak bumi. Meski aku tak pernah mengiklarkan perasaan cinta namun getaran jiwamu kurasakan hingga aku tak sanggup berdiri, apalagi menggunakan segenap penalaranku. Karena aku merasakannya dengan intuisi bukan dipahami melalui potensi akal.

Aku masih seperti hari kemarin. Masih bisa tertawa, bergembira. Meskipun aku tak tahu perasaanmu yang sesungguhnya yang tidak bisa kau bohongi. Aku bisa dikelabui, tapi perasaanmu sendiri takan pernah bisa.

Suaraku sedikit-demi sedikit terbenam hanyut dan terapung di batas samudra, kemudian tersapu angin lalu menggantung dilangit-langit. seperti Idea Plato yang menembus batas realitas-kepalsuan yang selalu bersentuhan dengan dunia indrawi keseharian kita―fenomena yang nampak. Bukan berasal dari realitas-kesejatian yang konstan, tetap, abadi, universal, ialah kebenaran yang tidak pernah berubah.

Apakah yang harus aku pilih; diam dalam kebisuan? Atau berteriak dalam ketidakpastian?
Ah.. aku terlalu bosan dengan harapan yang selalu saja menipu, menipu dan selalu berkonspirasi dengan hasrat. Tapi bukankah harapan juga implikasi dari manifestasi pilihan?

Daspuy-demelancolicensoi
[Lelekidisimpangkegilaan]