SATU ~ lebenswelth

Bienvenido

SATU

Senin, 08 September 2008



WAKTU menunjukan jam sembilan. Sebuah institusi pendidikan yang tidak seperti biasanya; sepi, berdebu. Tak terlihat sisi kebebasan. Hanya sepotong moral yang pajang pada dinding yang lapuk. Aku berdiri di samping utara aula universitas, tatapannya penuh kecamasan, harap; pada sebuah keyakinan yang terpasung pada nyanyian profan kebebasan. Kepastiannya tak berkesudahan dan berujung. Ditengah amuk masa sang Godot menelanjangi nilai-nilai eksistensi manusia.

Jiwaku telah kering, semangatku menjadi retak. Yang aku nanti hanyalah sandaran pada sesuatu yang serba entah. Siraman nurani tak kunjung menyapa dalam kekalutan akan kasih sayang belaian kelembutan. Tubuhku kering kerontang yang siap ditebas algojo, seperti Syekh Siti Jenar yang melesap menuju keabadian seteh kepala dan tubuhnya terpisah. Atau Socrates yang dipaksa meminum Racun, demi kebaikan tertinggi. Tapi, apalah artinya diriku yang hanya bisa hidup dalam be;lenggu penderitaan.

Aku masih disini..! berdiri pada setumpuk barisan nisan yang dikebiri seonggok tinja yang bernama masa depan. Tubuhku kini menari-nari seperti ekstase fabel Jalaluddin Rumi. Kebahagiaan kini tercetak tebal dalam setumpuk buku yang lapuk, lusuh, usang dan berdebu oleh kehendak manusia yang ingin mendapat pencerahan darinya. The death autor “ seperti simbol yang takan pernah aku pahami yang tertera membentuk rangkaian hurup-hurup, membentuk sejentik kalimat yang ditarik dari realitas. Kemudian disimpulkan, ia menjelma menjadi ajaran dogmatis. Lalu kita mengamini ramai-ramai, tanpa menanyakan ulang struktur yang dibangunya. Kita terlanjur meyakini dan diyakini kebenarannya.

Tubuhku tergores dalam lukisan abstrak. Yang tubuhnya seperti dipotong-potong; menari dan bersenandung dalam lingkaran semesta yang juga terpotong-potong.

Sekarang adalah waktu dimana pembukaan untuk mahasiswa pilihan tiga. dimana mereka yang tidak lulus tes masuk pilihan satu dan dua. Sedikit kantuk masih menyisakan tanya pada ruang yang kulenyapkan semalam, dua jam aku melesap dalam ketidak sadaran, merasakan kematian yang terasat singkat. Tanpa kutukan, kegetiran, kebehagiaan, penderitaan, sayang hanya sejenak aku berjmpa dengannya.

Apa yang telah memaksaku untuk jatuh pada pengasingan diri. Apakah penderitaan, ketololan atau kebodohanku? Untuk terbiasa memahami realitas. Banyak sudah buku yang sudah berjejal di gang-gang otakku, mulai dari tema agama, kehidupan, sains, filsafat. Mulai dari Albert Camus, nabi Muhammad, Sidarta Gautama, Heidegger, Kierkegaard. Tapi terasa berjarak dengan diriku sendiri, bahkan cendrung menafikan eksistensiku sebagai makhluk berkesadaran.

Ku ayunkan kaki melangkah maju menuju stand jurusan AqFil, tak jauh dari tempat pengambilan formulir. Kuliriksetiap penjuru ruang; terpampang sejuta wajah penuh kecemasan. Dalam kesinisanku bergumam dalam hati;

“apa yang kalian harapkan masuk ke UIN (Universitas Islam Negeri)?, apakah kalian sudah tahu tentang kebobrokan UIN?. Sayangnya kalian tak tahu apa-apa”.
Pecah lamunanku, ketika aku menyadari aku adalah salah satu mahasiswa sini.
“ lantas apakah aku sendiri sudah menemukan jawaban itu?”
Perasaan cemas segera menghinggapi bagai gemuruh banjir pada zaman Nuh. Rasa takut menyelimuti setiap himpitan ruang dan waktu. Semuannya bercampur dalam ketidak pastian dalam memahami hidup ini yang nampak absurd.

“Berapa orang yang masuk jurusan AqFil?” tanya Teh Hannah, ia adalah salah seorang dosen dijurusan AqFil, yang kebetulan juga alumni, yang duduk disampingku.
“20 orang teh” jawabku. Dan kami pun larut dalam pikiran masing-masing, tak ada riak manusia, desiran angin yang bergemuruh, yang ada hanyalah kesunyian, keheningan dan kemuakan pada sesosok pikiran yang bernama kebahagiaan.

Aku coba untuk mengalihkan perhatian pada dua buah buku yang ku genggam. Memoar Seorang Filosof-nya Bryan Magee, dan satu lagi yang menggugah perasaanku adalah buku Justein Gaarder yang berjudul Vita Brevis. Aku larut dalam perasaan Floria bahkan menaruh simpatik padanya. Ketika dia dia dikhianati oleh kekasihnya yang sudah 14 tahun hidup bersama, bahkan telah dikaruniai anak yang diberi nama Adeodatus. Santo Agustinus sang kekasih Floria, seorang santo sekaligus Filsuf abad pertengahan. Ia memilih jalan pencerahan jiwa ketimbang kebahagiaan duniawi. Hidupnya diabdikan pada gereja “jalan Tuhan” yang tertuang dalam karyanya yang fenomenal berjudul Pengakuan (Confessiones). Dari sisi intelektualitasnya dia tidak diragukan lagi, gagasannya di pengaruhi aliran Manichean dan tercatat sebagai Platonism.

ST. Agustinus adalah sang penjelma Fir’aun, penebas setiap keindahan, pembunuh setiap kebahagiaan. ia telah menggores luka dihati Floria, luka yang kian hari-kian meradang dalam kekalutan jiwanya. Cinta yang Agustine sematkan pada Tuhan yang maha jahat, merelakan ikatan cinta yang dipersembahkan pada Tuhan yang mengerti pada keindahan, kelembutan dan kasih sayang.
“Ibu kemana aja?, eh Ibu ngapain ada disini?
“Ibu kan alumni AqFil”
“ aku kira ibu itu alumni Tarbiyah.
Percakapan itu sontak membuyarkan renunganku atas perasaan Floria yang perasaannya ditusuk-tusuk Agustinus. Lalu kututup buku itu rapat-rapat, tak ada pemberontakan bahkan amarah karena aku tidak menamatkan bacaannya, hanya kepasrahan yang coba ditawarkan oleh buku yang sejak dari tadi kucekik, bahkan dikala terhempas di atas meja. Hanya satu harapnya; menghendaki aku untuk berkehendak menelanjanginya lagi.

Kualihkan pandanganku pada sesosok makhluk yang bernama perempuan. Aku tak tahu siapa inisialnya, tapi ia datang dengan temannya. Tak ada hal yang terbesit dalam pikiranku, maka sikap acuh saja menanggapi kehadirannya. Menyapanya dalam kebisuan. Lalu menghadirkan kembali sisi kesunyianku. Ia takan pernah mengerti akan apa yang kurasakan, menyangkal setiap kegelisahan, kerisauan, kegamangaan akan eksistensiku di dunia ini. Jadi non sense jika harus larut dalam dialektika antara aku dan ia. Belakangan aku mengetahui bahwa sosok wanita yang kupertanyakan bernama Widi, seorang mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) semester 3. setelah aku menanyakan pada seorang teman yang bernama Modjo-Arrasyid.
##