Bienvenido

men[telanjang]i pilihan

Minggu, 27 Desember 2009

Dalam cinta seringkali kebungkaman lebih berlaku dari pada percakapan –Pascal

Dalam petuahnya Either/Or, A Fragment of life (1944), Kierkegaard tidak pernah membiarkan kekahawatiran eksistensial dan kesangsian hidup begitu saja. Ia selalu mengurut nasib dalam kegalauan hidup yang dramatis nan tragis. Ia membisikan kegelisahannya ditelingaku, takala aku sedang dirundung duka dan ketidakpastiaan dalam mengarungi semesta hidup.
“Tiap orang yang belum merasakan pahitnya rasa putus asa berarti telah kehilangan arti kehidupan, walaupun ia hidup dengan senang dan indah”.

Sebuah fenomena objek manusia selalu dihadapkan pada persoalan “pertentangan”, ada kebaikan selalu mengandaikan adanya kejahatan, kita mengenal siang karena malam sudah lewat. Begitulah seterusnya dalam menjalani kehidupanku yang penuh dengan rasa bimbang, penuh dengan kegamangan. Tak pernah ada yang memahami eksistensiku dan memaknai ke-ber[Ada]-didunia. Aku tahu dimana harus memulai, tapi tak tahu dimana harus mengakhiri. Aku selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan (alterasi). Aku harus mengambil keputusan di dalam ber-eksistensi, walaupun dalam pengambilan keputusan itu selalu didasari atas kuasa nalar, intuisi, atau rasa belas kasihan.

Apa yang aku rasakan hari ini, sama dengan apa yang kurasa waktu pertama kali aku jumpa denganmu. Di depan Stand Aqfil, kala itu aku masih bingung menafsirkan penampakan wujudmu. Waktu terus berubah menandakan sebuah proses kejadian dari logos semesta. Karena ia tunduk pada ketetapan kosmos maka segala makhluk yang ada didalamnya tak bisa menegasikan dirinya pada apa konsep ke-meruang-an dan ke-mewaktu-an yang telah menjadi ketetapannya. Pikiranku bercengkrama dengan sesuatu yang sudah terefleksikan oleh daya indrawi. Ia hadir dalam segenap mistery semesta. Karena yang eksis adalah rasio [nalar] bukanlah sebongkah materi yang fana. Seperti petuah para atomis yang memandang pikiran, dan perasaan tak lain dari sebentuk materi semata. Akan tetapi di bantah oleh gumam Descartes dari atas kasur; Cogito Ergo Sum―aku berfikir maka aku ada. Hingga akhirnya aku tersadar sudah terperosok pada jurang Solipsisme. Karena hanya pikirankulah yang eksis.

Detik ini, dalam kesunyatan gelap. Dimana bulan setengah telanjang bercermin dalam malu, bercengkrama pada kesunyian tiada bebintang menemaninya. Dalam temaran cahaya bulan yang remang-remang; bayang wajahmu hadir dalam tarian awan yang nampak putih dibalut nyanyian angin yang penuh syahdu melantunkan syair penuh dengan nada kepesimisan. Tatapannya kini mencurigakan. Seolah-olah ia hendak menikamku dari keterjagaan. Penuh dengan seribu teka-teki yang menuntut untuk segera dijawab, namun setiap persoalan yang hendak dijawab selalu mengandaikan munculnya pertanyaan-pertanyaan baru. Hingga akhirnya aku hanya pasrah, tertunduk, diam, telungkup dan telanjang membelakangi arah kegelapan.

Sudah sekian lama aku larut dalam kesendirian, ditemani sunyi dan sedikit rasa cemas. “Apakah percakapan kemarin akan terulang lagi?. Gumamku dalam sadar”
Hadirmu membuat aku selalu ditikam gelisah menyulam hari-hari esok. Kegalauan penuh dengan kecemasan akan rasa rindu yang tak bisa terbendung lagi. Aku takutkan semacam kamu tidak respon terhadap kegelisahan perasaanku selama ini. Sadarkah engkau? Yang telah menelanjangi perasaanku hingga aku tersungkur dan terjatuh pada lubang kegelapan, akan ketidak pastian dan ketaktentuan arah.

Aku tidak akan pernah bisa melupakan pengalaman kita berdua. Bila aku ingat, aku selalu tertawa lalu termenung memikirkan sepenggal kisah yang pernah kita lewati dalam percakapan kemarin dibawah rindang pohon depan Fakultas Ushuludin. Diktum perasaanku telah terpahat, menggantung di atas langit, tertancap sebagai pasak bumi. Meski aku tak pernah mengiklarkan perasaan cinta namun getaran jiwamu kurasakan hingga aku tak sanggup berdiri, apalagi menggunakan segenap penalaranku. Karena aku merasakannya dengan intuisi bukan dipahami melalui potensi akal.

Aku masih seperti hari kemarin. Masih bisa tertawa, bergembira. Meskipun aku tak tahu perasaanmu yang sesungguhnya yang tidak bisa kau bohongi. Aku bisa dikelabui, tapi perasaanmu sendiri takan pernah bisa.

Suaraku sedikit-demi sedikit terbenam hanyut dan terapung di batas samudra, kemudian tersapu angin lalu menggantung dilangit-langit. seperti Idea Plato yang menembus batas realitas-kepalsuan yang selalu bersentuhan dengan dunia indrawi keseharian kita―fenomena yang nampak. Bukan berasal dari realitas-kesejatian yang konstan, tetap, abadi, universal, ialah kebenaran yang tidak pernah berubah.

Apakah yang harus aku pilih; diam dalam kebisuan? Atau berteriak dalam ketidakpastian?
Ah.. aku terlalu bosan dengan harapan yang selalu saja menipu, menipu dan selalu berkonspirasi dengan hasrat. Tapi bukankah harapan juga implikasi dari manifestasi pilihan?

Daspuy-demelancolicensoi
[Lelekidisimpangkegilaan] Read more!

SATU

Senin, 08 September 2008



WAKTU menunjukan jam sembilan. Sebuah institusi pendidikan yang tidak seperti biasanya; sepi, berdebu. Tak terlihat sisi kebebasan. Hanya sepotong moral yang pajang pada dinding yang lapuk. Aku berdiri di samping utara aula universitas, tatapannya penuh kecamasan, harap; pada sebuah keyakinan yang terpasung pada nyanyian profan kebebasan. Kepastiannya tak berkesudahan dan berujung. Ditengah amuk masa sang Godot menelanjangi nilai-nilai eksistensi manusia.

Jiwaku telah kering, semangatku menjadi retak. Yang aku nanti hanyalah sandaran pada sesuatu yang serba entah. Siraman nurani tak kunjung menyapa dalam kekalutan akan kasih sayang belaian kelembutan. Tubuhku kering kerontang yang siap ditebas algojo, seperti Syekh Siti Jenar yang melesap menuju keabadian seteh kepala dan tubuhnya terpisah. Atau Socrates yang dipaksa meminum Racun, demi kebaikan tertinggi. Tapi, apalah artinya diriku yang hanya bisa hidup dalam be;lenggu penderitaan.

Aku masih disini..! berdiri pada setumpuk barisan nisan yang dikebiri seonggok tinja yang bernama masa depan. Tubuhku kini menari-nari seperti ekstase fabel Jalaluddin Rumi. Kebahagiaan kini tercetak tebal dalam setumpuk buku yang lapuk, lusuh, usang dan berdebu oleh kehendak manusia yang ingin mendapat pencerahan darinya. The death autor “ seperti simbol yang takan pernah aku pahami yang tertera membentuk rangkaian hurup-hurup, membentuk sejentik kalimat yang ditarik dari realitas. Kemudian disimpulkan, ia menjelma menjadi ajaran dogmatis. Lalu kita mengamini ramai-ramai, tanpa menanyakan ulang struktur yang dibangunya. Kita terlanjur meyakini dan diyakini kebenarannya.

Tubuhku tergores dalam lukisan abstrak. Yang tubuhnya seperti dipotong-potong; menari dan bersenandung dalam lingkaran semesta yang juga terpotong-potong.

Sekarang adalah waktu dimana pembukaan untuk mahasiswa pilihan tiga. dimana mereka yang tidak lulus tes masuk pilihan satu dan dua. Sedikit kantuk masih menyisakan tanya pada ruang yang kulenyapkan semalam, dua jam aku melesap dalam ketidak sadaran, merasakan kematian yang terasat singkat. Tanpa kutukan, kegetiran, kebehagiaan, penderitaan, sayang hanya sejenak aku berjmpa dengannya.

Apa yang telah memaksaku untuk jatuh pada pengasingan diri. Apakah penderitaan, ketololan atau kebodohanku? Untuk terbiasa memahami realitas. Banyak sudah buku yang sudah berjejal di gang-gang otakku, mulai dari tema agama, kehidupan, sains, filsafat. Mulai dari Albert Camus, nabi Muhammad, Sidarta Gautama, Heidegger, Kierkegaard. Tapi terasa berjarak dengan diriku sendiri, bahkan cendrung menafikan eksistensiku sebagai makhluk berkesadaran.

Ku ayunkan kaki melangkah maju menuju stand jurusan AqFil, tak jauh dari tempat pengambilan formulir. Kuliriksetiap penjuru ruang; terpampang sejuta wajah penuh kecemasan. Dalam kesinisanku bergumam dalam hati;

“apa yang kalian harapkan masuk ke UIN (Universitas Islam Negeri)?, apakah kalian sudah tahu tentang kebobrokan UIN?. Sayangnya kalian tak tahu apa-apa”.
Pecah lamunanku, ketika aku menyadari aku adalah salah satu mahasiswa sini.
“ lantas apakah aku sendiri sudah menemukan jawaban itu?”
Perasaan cemas segera menghinggapi bagai gemuruh banjir pada zaman Nuh. Rasa takut menyelimuti setiap himpitan ruang dan waktu. Semuannya bercampur dalam ketidak pastian dalam memahami hidup ini yang nampak absurd.

“Berapa orang yang masuk jurusan AqFil?” tanya Teh Hannah, ia adalah salah seorang dosen dijurusan AqFil, yang kebetulan juga alumni, yang duduk disampingku.
“20 orang teh” jawabku. Dan kami pun larut dalam pikiran masing-masing, tak ada riak manusia, desiran angin yang bergemuruh, yang ada hanyalah kesunyian, keheningan dan kemuakan pada sesosok pikiran yang bernama kebahagiaan.

Aku coba untuk mengalihkan perhatian pada dua buah buku yang ku genggam. Memoar Seorang Filosof-nya Bryan Magee, dan satu lagi yang menggugah perasaanku adalah buku Justein Gaarder yang berjudul Vita Brevis. Aku larut dalam perasaan Floria bahkan menaruh simpatik padanya. Ketika dia dia dikhianati oleh kekasihnya yang sudah 14 tahun hidup bersama, bahkan telah dikaruniai anak yang diberi nama Adeodatus. Santo Agustinus sang kekasih Floria, seorang santo sekaligus Filsuf abad pertengahan. Ia memilih jalan pencerahan jiwa ketimbang kebahagiaan duniawi. Hidupnya diabdikan pada gereja “jalan Tuhan” yang tertuang dalam karyanya yang fenomenal berjudul Pengakuan (Confessiones). Dari sisi intelektualitasnya dia tidak diragukan lagi, gagasannya di pengaruhi aliran Manichean dan tercatat sebagai Platonism.

ST. Agustinus adalah sang penjelma Fir’aun, penebas setiap keindahan, pembunuh setiap kebahagiaan. ia telah menggores luka dihati Floria, luka yang kian hari-kian meradang dalam kekalutan jiwanya. Cinta yang Agustine sematkan pada Tuhan yang maha jahat, merelakan ikatan cinta yang dipersembahkan pada Tuhan yang mengerti pada keindahan, kelembutan dan kasih sayang.
“Ibu kemana aja?, eh Ibu ngapain ada disini?
“Ibu kan alumni AqFil”
“ aku kira ibu itu alumni Tarbiyah.
Percakapan itu sontak membuyarkan renunganku atas perasaan Floria yang perasaannya ditusuk-tusuk Agustinus. Lalu kututup buku itu rapat-rapat, tak ada pemberontakan bahkan amarah karena aku tidak menamatkan bacaannya, hanya kepasrahan yang coba ditawarkan oleh buku yang sejak dari tadi kucekik, bahkan dikala terhempas di atas meja. Hanya satu harapnya; menghendaki aku untuk berkehendak menelanjanginya lagi.

Kualihkan pandanganku pada sesosok makhluk yang bernama perempuan. Aku tak tahu siapa inisialnya, tapi ia datang dengan temannya. Tak ada hal yang terbesit dalam pikiranku, maka sikap acuh saja menanggapi kehadirannya. Menyapanya dalam kebisuan. Lalu menghadirkan kembali sisi kesunyianku. Ia takan pernah mengerti akan apa yang kurasakan, menyangkal setiap kegelisahan, kerisauan, kegamangaan akan eksistensiku di dunia ini. Jadi non sense jika harus larut dalam dialektika antara aku dan ia. Belakangan aku mengetahui bahwa sosok wanita yang kupertanyakan bernama Widi, seorang mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) semester 3. setelah aku menanyakan pada seorang teman yang bernama Modjo-Arrasyid.
##
Read more!

[REFUSED]


“Rather be forgotten than remembered for giving in”

Jangan biarkan kami mati terlalu dini, sebelum kami sempat menentang matahari..! jangan biarkan keletihan dan kesabaran membunuh eksistensi kami, sebelum kami sempat mengajarkan pada mereka bagaimana caranya menari, bagaimana seharusnya hari-hari berbagi api, dan bagaimana mengikrarkan janji; kami tidak akan pernah mati…!

Kampus [UIN] hari ini ternyata lebih banyak menggunakan dari cangcut berhala latta. Atas nama pendidikan, orang-orang didalamnya berbicara tentang etika, sopan santun, skill, kepemimpinan, pembelajaran, keahlian, dari baham patriotic yang tak ubahnya anjing penjaga neraka. Sebab; pada kenyataannya, ia tak lebih dari praktek manipulasi demi kepentingan beteung. Segala tingkah laku difatwa halal, tak menghiraukan jika daging saudaranya ditebas dan melepas jasad seperti pembantaian di Karbala. Segala hal dilabrak. Pendidikan, kemanusiaan, profesionalisme adalah wacana basi yang mesti dikurut, dikarungan, dibuang jauh-jauh dari peradaban, agar bangku jabatan bisa digenggam dan langgeng apapun caranya pasti akan ditempuh mesti harus munjung pada sang empunya jabatan.

Kampus [UIN] hari ini ternyata lebih banyak dihuni oleh sekumpulan dosen-dosen yang dungu. Sebab, jauh-jauh institusi kampus kembali hanya untuk menghianati ranahnya sendiri. Ikrar kemajuan keilmuan berganti menjadi ambisi politik penghianatan. Lebok tah Kusia Anjing..!!. mengajar hanya menjual bacot murahan bin usang menghabiskan jam kewajiban, yang percis sama seperti 5 tahun yang lalu. Dan kembali berdiskusi dengan rekan sejawat bagaimana mengibarkan tirani. Modar sia anjing…!!

Kampus [UIN] hari ini ternyata lebih banyak memproduksi kotoran berlebel Profesor, Doktor, Master dan Haji, sebab system pendidikan yang dibudayakan hanya berhasil mengajarkan mereka bagaimana menggelapkan laporan keuangan, bagaimana berbagi keuntungan, bagaimana menjual nilai, bagaimana melacurkan keilmuan, dan bagaimana menyembah jabatan. Berkoar waktu sidang dan tertawa setelahnya, lalu bersembunyi dibalik pembenaran tafsir pribadi atas ayat-ayat suci.

Kampus [UIN] hari ini ternyata lebih mirip dari barisan nisan yang dijaga oleh vampir penghisap nurani, siapapun yang ada didalamnya, tidak ada lagi yang sanggup menyematkan nama “oposisi”. Ada banyak orang yang bertitel tapi tidak mengerti apa itu profesionalisme, pimpinan, delegasi, dan amanah ditunjuk dan diberikan lewat negosiasi berbagi daging babi. Mahasiswa terus dibodohi dengan memberikan mereka seonggok fatwa dan kewajiban SPP yang terus dikorupsi, sementara masa depan mereka semakin absurd. Dan ijazah-nya tak laku dijual karena diperoleh lewat system yang amburadul.

Kampus [UIN] hari ini ternyata sudah menipiskan batas antara kuliah dan pembelajaran Gomoroh. Antara fatwa suci dan amuk birahi. Kanan dan kiri, kebebasan dan tirani, palsu dan hakiki, kebenaran dan kebohongan.
System boleh saja menindas kami, suara ini mungkin terdengar parau dan sunyi, tapi ikrar ini kan terus terpatri “lebih baik mati terlupakan, daripada diingat karena menyerah”

Pembunuh ke[ramai]an
[inspired by homicide ‘nd Refused]
Read more!

Teologi Keberagamaan Pluralisme Liberatif

Jumat, 30 Mei 2008



“Meskipun ada bermacam-macam, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka’bah?....oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; namun pabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuannya terarah hanya pada satu tujuan.”
[Jalaludin Rumi]

AGAMA adalah obyek perbincangan dan pergerakan yang senantiasa terus menarik untuk didiskusikan sepanjang zaman, rentangan waktu dari hal-hal yang berbau mitos hingga dimana sains mendominasi dalam berbagai hal. Hal ini di sebabkan karena fungsi dan peran agama yang unik dan menarik, yaitu sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Agama, di satu sisi menjadi pedoman kehidupan, perdamaian, dan tuntunan moralitas demi keselamatan baik individu maupun social secara universal. Akan tetapi, di sisi lain agama sering menjadi penyebab konflik, peperangan, kultus, dan kekacauan atau chaos bagi kelangsungan hidup umat manusia.


Di samping itu, fenomena dan fakta yang terjadi di lapangan, agama sering dicampuradukkan dengan penafsiran keagamaan. Maksudnya; perbedaan itu sering berujung pada pemberian vonis kesalahan terhadap orang lain yang tidak sepaham. Adanya truth claim; pada kelompok sendiri, dan kelompok yang lain dianggap jauh menyimpang dari kebenaran diluar dari golonganya, agamanya, keyakinannya dan dicap sesat atau murtad (orang yang keluar dari agama), sedangkan yang menurut mereka benar adalah apa yang jalani menurut keyakinannya. Seperti apa yang dikemukakan oleh kelompok konservatif garis keras yang menolak fakta pluralisme, yang terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu tentu saja berbahaya karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan keagamaan.

Pada konteks ini tejadi klaim kebenaran (truth claim) secara eksklusif, dimana kelompok yang memiliki keabsahan karakteristik beragama seperti ini, keabsahan teologinya ada pada nya, dan keselamatan (salvation claim) hanya ada dan menjadi milik mereka pula. Memperhatikan tanggapan pesimisme Wilson terhadap keberagamaan seperti itu sesungguhnya merupakan kritik keras dan peringatan terhadap peranan semua agama. Bahwasanya dalam setiap agama pasti ada penganut yang memiliki potensi negatif dan destruktif yang membahayakan, yang mengancam pada tingkat kekacauan (chaos). Sungguh sangat ironis ketika agama sudah hilang semangat kemanusiaannya dalam suatu peradaban maka ia akan tampil sebagai instrumen yang dapat menhancurkan peradaban maka sudah pasti ia akan tampil sebagai instrumen yang menghancurkan manusia dan peradabannya. Munculkan klaim kebenaran dan penafsiran agama itu juga menjadikan para pemeluk agama dan tokoh agama berperilaku dengan menggunakan standar ganda (double Standards) kebenaran. Maksudnya baik orang Islam ataupun non Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang bersifat ideal dan normative untuk agama sendiri, sedangkan terhadap agama lain, memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis.

Paradigma Keberagamaan
Penafsiran dan keberagamaan, pada dasarnya muncul sesuai dengan tingkat pengetahuan, lingkungan sosial dan kultural, serta keyakinan yang dibawanya sejak dari kecil (agama orang tua). Hingga dewasa ini, paradigma keberagamaan umat manusia umumnya bisa ditipologikan menjadi tiga golongan.

Pertama, paradigma eksklusif, pandangan yang dominan ada pada kalangan ini, adalah bahwa agama merekalah yang menjadi satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan. Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keselamatan. “akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” , sehingga muncullah perumusan istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal agama Islam. “sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “barang siapa mencari agama selain Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi” Implikasi sosial dari pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.

Kedua, paradigma inklusif, menurut kalangan ini agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang Satu dengan mereka, seluruhnya ditulis oleh Allah Ta’ala bahwa menyesuaikan diri dengan pembawa, kaum penerima, bahasa, serta lingkungan geografis. Menurut pandangan Umar Sulaiman Al-asyqar, seorang sarjana Muslim yang berdomisili di Kuwait, memaparkan pandangaannya tentang kesatuan agama menegaskan bahwa agama yang diturunkan Allah kepada Nabi dan rasul adalah satu, yaitu Islam. Islam bukan nama untuk satu agama tertentu, tetapi adalah nama yang didakwahkan oleh semua nabi. Senada dengan apa yang dikatakan Nurcholish Madjid. “ Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah dalam (Q 3:85 dan Q 3:19) tidaklah khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka nabi Muhammad s.a.w diutus, melainkan hal ini merupakan suatu hokum umum (hukm amm, ketentuan universal) tentang manusia masalau dan manusia kemudian hari. Kesemuanya itu mengisyaratkan adanya titik temu agama-agama ini harus dijadikan sarana untuk membuka diri atau bersimpati terhadap kebenaran agama orang lain. Kalau Allah menghendaki, maka umat manusia itu menganut satu agama saja, tetapi Allah menciptakan beragam agama, agar bisa menguji siapa yang paling baik amalnya, yang diharuskan adalah berlomba-lomba dalam kebajikan (Fatabikhul khairat)

Ketiga, paradigma pluralis atau paralel. Menurut kalangan ini, setiap agama pada dasarnya berbeda dan mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada, yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. Tokoh paradigma ini adalah John Harwood Hicks (1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama. Menurut dia, teologi agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan sebagai "agama primordial" atau "nilai perenial".

Oleh karena itu, perbedaan agama pada kalangan ini diterima sebagai pertimbangan dalam prioritas "perumusan iman" dan "pengalaman iman". (Islam Pluralis, hal. 49-50). Sama apa yang dirumuskan oleh Sayyid Hossein Nasr, setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut. Sikap pluralis bisa diterima jika seandainya perbedaan antara Kristen dengan Islam diletakan dalam posisi yang lebih penting diantara keduannya. Islam mendahulukan perumusan iman, dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sedangkan dalam ke Kristenan mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akal Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan pada sakramen Misa dan Ekaristi) dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis melalui Trinitas.
Ketiga tipologi paradigma keberagamaan di atas bukanlah hal yang kaku dan tetap. Akan tetapi, semuanya adalah persoalan pilihan kehidupan dan keyakinan. Apa yang kita anggap sesuai dengan keyakinan kita tentang konsepsi teologi tanpa menjustifikasi penganut lain yang tidak sepaham. Hal itu menjadi masalah tersendiri, ketika realitas sosial dan masyarakat yang ada menunjukkan fakta yang berbeda dengan keyakinannya. Artinya, paradigma keberagamaan itu bisa mengganggu orang lain dan kurang memberikan manfaat pada tatanan sosial yang ideal.
Fakta dan keniscayaan pluralisme

Pluralitas adalah realitas yang betul-betul terjadi di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Hal itu nampak pada pluralitas agama, budaya, latar belakang pendidikan, ras dan suku, serta kesenangan bahkan jalan hidup masing-masing manusia. Pluralitas atau keragaman berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau kehendak manusia. Maksudnya, itu adalah kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, intropeksi diri, dan tolong-menolong.

Keragaman di atas pada awalnya memang tidak menimbulkan persoalan atau gejolak sosial. Mari kita lihat apa yang yang merjadi konflik di Indonesia akhir-akhir ini, dimana konflik merebak dengan mengusung bendera agama dan ras, kalau kita menelaahnya sesungguhnya konflik tersebut berawal dari factor social, ekonomi, dan politik seperti kerusuhan bernuansa SARA menewaskan ribuan manusia seperti kerusuhan Ambon, timor-timur, Sambas dan lainnya adalah sebagian dari daftar panjang kerusuhan yang terjadi karena dilator belakangi oleh konflik agama. kerusuhan masaal yang terjadi tahun 1998 dimana ratusan gereja dan tempat usaha etnis China dibakar, dirusak dan dijarah, bahkan yang tidak manusiawi anak-anaknya diperkosa bahkan ada yang sampai dibunuh.

Seperti yang terjadi baru-baru ini adanya bom bunuh diri yang mengatasnamakan agama yang berjuang menegakan ajaran Tuhan dimuka bumi Pada dasarnya apayang dilakukan adalah hal yang bodoh kerena islam tidak mengajarkan kekerasan. Paradigma keber-Agamaan seperti itu patut dikatakan keliru karena agama diturunkan dari Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan dari Tuhan untuk kepentingan Tuhan, dan bukan pula dari manusia untuk Tuhan. Melainkn dalam hal ini Tuhan berposisi sebagai sumber spirit moral. Dari Nya manusia berasal, kepadanya pula manusia akan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup didunia. Agama pada dasarnya bersifat kemanusiaan tetapi bukan berarti kemanusiaan yang berdiri sendiri melainkan kemanusiaan yang memancarkan dari wujud Tuhan. oleh sebab itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan maka nilai keagamaan mustahil menentang nilai kemanusiaan.

Yang menjadi kecurigaan; jangan-jangan ada kekuatan lain yang menggerakannya sehingga yang muncul adalah konflik yang dibangun seakan-akan bermuatan SARA. Karena mereka sering dibarengi dengan keinginan untuk menguasai, (social, politik dan ekonomi) meminjam istilah Nietzsche - will to power -, sering menjadikan mereka menghalalkan segala cara. Penghalalan segala cara adalah naluri hewaniah manusia yang sering muncul ke permukaan. Padahal, ada sebuah nilai keluhuran manusia berupa akal sehat dan hati nurani yang harus senantiasa dipertimbangkan ketika melakukan sebuah tindakan.
Nilai keluhuran dan kemanusiaan itu ketika diperhadapkan dengan realitas pluralitas, adalah sebuah sikap yang menghargai perbedaan disertai dengan kearifan menerima dan mengakui kebenaran orang lain. Dalam keberagamaan, sikap ini mewujud dalam implementasi paradigma pluralisme agama sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, dalam realitas pluralitas yang terbentang di hadapan kita, sebuah sikap pluralis dalam beragama adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Amin Abdullah (1999), realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme keagamaan itu, disebabkan oleh adanya hegemoni kepentingan dan egoisitas pada sekelompok orang atau golongan tertentu. Tindakan dan kepentingan itu juga sering mereka justifikasi dengan landasan teks-teks keagamaan.

Anehnya, penafsiran teks keagamaan itu sering mereka lakukan secara terpisah dengan realitas sosial yang terbentang di permukaan. Padahal, untuk menciptakan sebuah pluralisme keagamaan meniscayakan penafsiran yang mengompromikan antara aspek historisitas dan normativitas teks keagamaan (baca-kontekstualisasi).

Pandangan pluralisme yang dimaksudkan di sini bukan berarti mencampuradukkan atau membuat "gado-gado" agama, atau dalam istilah lain disebut sinkretisme yaitu pandangan yang mencampuradukan semua agama atau menjalankan ajaran semua agama sekaligus karena semuannya dianggap memberikan keselamatan (Jalaludin Rakhmat) ;namun justru penghargaan dan penggalian nilai-nilai kebenaran universal agama untuk kebaikan bersama. Seperti ditegaskan oleh Alwi Shihab, bahwa pluralisme bukanlah relativisme an sich, namun juga menekankan adanya komitmen yang kukuh pada agama masing-masing dan membuka diri atau bersifat empati terhadap kebenaran agama lainnya (Islam Inklusif, Mizan, 1997). Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah sikap untuk menjunjung tinggi kebaikan bersama dan menghindari klaim tunggal kebenaran. karena setiap pemeluk agama lain terdapat keselamatan.
Pluralisme keagamaan dan praksis sosial

Esensi kebenaran sebuah agama sejatinya terletak pada jawabannya atas problem kemanusiaan. Sebab, sesungguhnya agama sejak awal mempunyai misi suci untuk menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan kehidupan yang baik dan benar. Maka, pernyataan Gregory Baum (1999) yang menyatakan bahwa kebenaran agama terletak pada komitmen solidaritas dan visi emansipatoris, sangatlah relevan. Bila agama tidak menunjukkan kedua hal itu lewat penafsiran dan perilaku pemeluknya, maka lambat laun agama pasti menjadi komoditi yang tidak laku di pasaran. Bahkan akan sampai pada pembunuhan nilai-nilai spiritual seperti yang terjadi akhir-akhir ini dimana agama dikambing hitamkan penyebab berbagai konflik horizontal. Jika seorang pemeluk agama bentrok dengan pemeluk agama lain akan dianggap sebagai “sebuah tindakan melawan kezaliman” sedangkan jika orang yang berada di agama lain akan berpikiran sebaliknya.
Oleh karena itu, pluralisme keagamaan haruslah juga menghadapkan dirinya dengan problem kemanusiaan kontemporer. Maksudnya, teologi pluralis haruslah mempunyai tujuan spesifik untuk membebaskan kesengsaraan dan penderitaan umat. Hal tersebut bisa dilakukan, jika para agamawan dan umat beragama mengembangkan - meminjam istilah Erich Fromm - keberagamaan yang humanistik. Artinya, mereka senantiasa peduli, peka, dan mempunyai komitmen terhadap penderitaan yang terjadi di sekelilingnya. Kepedulian dan kepekaan ini, menurut Paulo Freire, akan terwujud jika mereka memiliki kesadaran kritis dalam melihat setiap kejadian dan permasalahan.
Bila teologi pluralis itu tidak dikembangkan dan dikawinkan dengan tujuan pembebasan kemanusiaan, maka ia akan sekadar menjadi obyek ilmu pengetahuan yang abstrak dan menggantung di langit; hanya menjadi obyek ilmu pengetahuan yang tidak mempunyai dimensi praksis. Padahal, paradigma ilmu sosial tradisional yang obyektif dari ideologi telah dirubuhkan oleh paradigma ilmu sosial kritis yang membebaskan (Jurgen Habermas, 1993). Maka, teologi pluralis sudah selayaknya mempunyai dimensi pembebasan dan tujuan ideologi untuk kepentingan sosial yang mencerahkan.
Sebab, jika tidak dilakukan, teologi itu justru bisa dimanfaatkan oleh sekelompok agamawan guna melanggengkan status quo kekuasaan dan pemberangusan kritisisme masyarakat seperti yang terjadi menimpa umat Islam sekarang dimana hanya tunduk pada titah sang Kyai yang hanya mendasarkan agama secara tekstual tradisional, sehingga santrinya didorong dipaksa bersikap taklid terhadap keyakinan baik secara teologis maupun dalam tataran praksis.
Sekedar Penutup
Akhirnya, keberagamaan pluralis adalah sebuah agenda pekerjaan mendesak yang membentang di hadapan kita. Mengingat, banyak problem-problem ekonomi, politik, sosial, keamanan, dan kemanusiaan lainnya yang tidak lekas terselesaikan akibat ketidakseriusan sebagian orang. Maka, kaum agamawan dan umat beragama hendaknya memelopori sebuah praksis sosial yang berwujud pada kesadaran kritis dan keterlibatan pada upaya demokratisasi dan pengentasan krisis terutama krisis berfikir. Apa yang kita harapkan adalah munculnya pandangan-pandangan keagamaan yang lebih progresif, inklusif, dan kesaling pengertian antar agama, yang telah menjadi obsesi cultural maupun teologis kita di Indonesia.
*****
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat. Jakarta: Kompas, 2002.
Akbar S Ahmed. Postmodernisme and Islam, Terjemahan Afif Muhammad. Mizan, Bandung, 1998.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung: 1999.
Bulletin Kebebasan. Edisi 01,02,03 dan 04. Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Jakarta; 2006
Jurnal Emanasi, edisi 01, Lembaga Kajian dan Penulisan UIN SGD Bandung, 2001
John Hickk, God and the Universe of Faiths, One World Publications Oxford, i993
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keislaman, Kemanusiaan, Dan Kemodernan, Paramadina, Jakarta, 1995, Cet 3
Madjid, Nurcholish. Pluralisme di Indonesia, jurnal Ulumul Qur’an, No 03, Vol VI i995
Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 1997
Muhammad, Afif. Islam Mazhab Masa depan: Menuju Islam Non-Sekterian. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998
Rachman, Budhy Munawar. Islam dan Pluralisme; Nurcholish Madjid. Paramadina; Jakarta 2007
Rachman, Budhy Munawar. Pluralisme dan Masalah Teologi Agama-agama, 1999
Osman, Fathi. Islam, Pluralisme dan Toleransi keagamaan. Dalam pandangan al-Qur’an, kemanusiaan, sejarah, dan peradaban. Paramadina; Jakarta 2006
Schoun, frithjop. Mengenai jejak-jejak agama abadi (Sur Les traces de la Religion perenne) diterbitkan pada tahun 1982
Schoun, frithjop. Mencari titik temu Agama-agama, terj, Safroedir bahar dari judul asli, The Transenden Unity of Religion, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987

Read more!

ADIOSSOLITERIUM

Senin, 26 Mei 2008

Mayz; bila ziarahku asai disini, sebelum akhirnya kulekatkan
Nasib ini, izinkan aku melesap dipertapaan tanpa ada
angisan. Usia bukan milik kita, may

Hanya satu, may;
Jalarkan sebaris edellweis senyumu dipusaraku. Aku
Pergi ketempat yang damai nankekal; seabadi potretmu
dihatiku

Lelaki disimpang ke[gilaan]
Julyduarebutujuh
Read more!

men[cinta]imu

SYAHDAN, suatu hari seorang kakek berucap pada pemuda yang dicampakkan cintanya, “adakah engkau mencintai sesuatu yang diharapkan datang menyapamu: sekalipun berasal dari dunia antah-berantah?”. Pemuda itu hanya diam.
Manusia seringkali dihadapkan pada persoalan paradoks hinaan dan pujian, sedihan dan kebahagiaan; yang berbaur dalam kefanaan. Cinta, selain dianggap sebagai omongan para bencong, pada kenyataannya memang tabu diperbincangkan. Pertanda manusia belum cukup dewasa menerima segala ketaksempurnaannya.

Ada hal yang lebih menarik mengapa cinta ada di ruang privat: sebab di sana ada jerembab kategori perempuan dan lelaki; temali-keterikatan: sisanya hanya perpapasan antara “[Bu]Clitor dan P[ak]Enis”. Tapi bagaimana jika percintaan tak diasumsikan sebagai persekongkolan antardaging?
Sartre pun juling menatap cinta, “Seseorang mencintai lawan jenisnya karena ingin menguasai yang dicintainya; baik pikiran, waktu, dan tubuh.” Maka cinta menghantam dari ketaksadaran kita. Dia datang, tak pernah diduga; lalu diam dalam struktur anatomi tubuh, mengkarat, dan mendarah daging! Ya, memang ini daging. Tapi Sartre mungkin lebih senang bilang: daging-akal-bulus.
Tapi dapatkah jika cinta digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan: kekerasan yang secara diam-diam diidamkan bersama-sama?
Ternyata manusia masih berkutat pada hal-hal sepele. Orang terkadang mencintai lawan jenis didasarkan pada kebutuhan biologisnya, bukan berasal dari cinta un sich, pada kesungguhan wujudnya. Bahkan, suami-istri yang saling mencintai sekalipun; ketika prosesi intim, yang berkata bukan cinta; tapi nafsu. “Senggama juga terjadi di kepala, Brow!” tiba-tiba Erica Jong teriak!
Apakah cinta dan nafsu punya kesamaan, atau pembeda. “Tapi bagaimanapun,” ungkap pemuda itu akhirnya mengurai kata, “yang kini nyata adalah keduanya berakhir di persinggungan gesek dan kejang. Jadi mungkin cinta itu bahasa halusnya, dan nafsu bahasa kasarnya. Toh keduanya mempunyai tujuan yang tak terlalu beda, simulasi birahi: sisanya cuma mengaduk cairan luka. Hasrat.”

[lelakidisimpang [kegilaan]
ciung wanara 2007
Read more!

Izinkan [aKu Kenal Kamu]

Sebuah refleksi atas tatapan kita kemarin-lusa

Disaat perjumpaan denganmu
Menatap senyum-Mu adalah segalanya
Hanya bagiku kaulah segalanya
Yang berusaha menasihati dalam perjamuan ini.
Tapi hanya sesaat kita berjumpa
Setelah itu; kita berpisah dalam
Arah yang berlainan
Seperti kayu yang menjadi abu
Lalu tertiup angin
Aku bagaikan puing batu kelabu
Sekarat dihadapanmu

Aku lepas digergaji waktu
Dan merenungi !
Setiap bayang-bayang itu.


Sekedar Prolog;
Bintang gemintang yang menghiasi gelap malam menebarkan khayalnya ke langit yang diselimuti kabut. Khayal yang melekat dilerung-lerung ingatannya memunculkan citra ke-Akuan yang merana dan menderita. Sambil menyaksikan bentangan sayap-sayap khayalnya aku berkata “apakah aku akan kehilanganmu, karena aku merasa memilikimu” khayalku adalah kesunyian yang paling menyiksa jiwaku.

Dalam kesunyian; bulan menghilang
Ketika malam menggenapkan nada burung
Pada batang cemara sunyi.
Ada yang berderai! Ketika;
Seperti jiwa yang bersitahan
Meredam amuk badai dalam gerimis terakhir
Yang menyeret luka telanjang
Keujung selatan paling sunyi-merekahlah kesumat
Dipenghujung malam,
Terdiam lukai setetes nista.
Ketika terselimuti nyanyian subuh.

Terkadang kita memaknai kebenaran sebatas realitas yang nampak, seringkali terjebak pada hal-hal bersifat inderawi. Sesuatu dikatakan real Apabila dapat menyentuh kulit, sebatas mata memandang, alunan bunyi yang masuk lewat telinga dan lain sebagainya. Itu hanyalah gambaran bagaimana manusia dapat mengenal wujud realitas yang material tidak menjelaskan kebenaran yang mutlak, kalau meminjam istilah Plato adalah bayangan dari dunia idea. Lalu timbul pertanyaan apakah realitas itu tetap atau berubah? adakah hubungan antara yang kekal dan abadi, di satu pihak, dengan yang berubah? di pihak lain karena Segala sesuatu terus berubah, tak ada yang diam. Realitas yang terus bergerak dianalogikan seperti aliran sungai. Hidup terus berjalan [menjadi] tanpa kita pernah mengerti tentangnya kita tak bisa masuk dua kali ke dalam aliran sungai yang sama.
Hanya ada satu yang benar-benar nyata, yang tidak berubah, yaitu Logos atau rasio (prinsip yang tak berubah atau sebab imanen dalam segala perubahan)

Siapakah Aku?
Merayapi lembah gunung ada luka dalam duka, dilempar kedalam kawah memanjat tebing-tebing sunyi memasuki pintu mistery menggores batu dengan kata sederhana.

Setelah tubuhku lelah berlari dari kekaguman
Untaian lisan; tak lebih dari sekedar bualan.
Tulisan hanya pengantar lelap.
Pada sebatang pohon,
Kusandarkan mimpi atas tubuh yang terkoyak.
Sebelum langit berhenti.
Sekejap;
Matapun tak mampu memandang.

Ketika Gilang pertama kalinya melihat sosok aku yang urakan, kucel, dekil, dan gondrong tak ke urus. Pasti akan punya kesan negatif terhadap penampilanku, sah-sah saja bukan saja kamu yang beranggapan seperti itu bahkan hampir semua orang beranggapan apa yang kamu persepsikan tentang aku. Kenapa orang menstigmakan pandangannya seperti itu? Adakah yang salah dengan diriku? jika suatu objek dipersepsi hanya melalui bentuk visual, maka yang nampak hanyalah sebagian bentuknya saja karena kebenaran yang absolut berada di dunia idea. Dunia yang nampak hanyalah pantulan dari bayangan dunia yang sebenarnya. jangan-jangan semua apa yang kita anggap sebagai kebenaran hanya dilihat dari persepsi indrawi.tidak dalam kaidah subtansi yang sesungguhnya. Atau yang lebih parahnya lagi menurut pandangan orang lain. “Suatu kesalahan yang di ulang-ulang akan menjadi kebenaran”

Seperti cucuran air mata
Membuyar di kelopak pandangan.
Bergemuruh hentakan,
Sudut-sudut alam.Temaram siang itu;
Nampak riuh disiram rintik hujan
Menjadikanya segenggam
Harapan yang telah mati;
Mati dalam mengharapkan mu
Sebagai dewi yang datang dari nirwana
Tatapan;
yang kau siratkan kemarin petang.
Melambai dibarengi Seutas senyum,
Kini; tertinggal Dalam kesadaraan
Seiring nafas berhembus.

Kalau boleh jujur aku anti kemapanan, penampilanku selama ini adalah bentuk protes terhadap pandangan umum. ketika kebenaran hanya sebatas simbol maka nalar (pikiran) manusia telah hilang sebagai makhluk yang konon paling sempurna yang diciptakan Tuhan. Orang dikatakan baik atau sopan apabila ia berpakaian rapi, selalu pake kameja, rajin kemasjid. Padahal kita ga tahu apa yang ada didalam pikirannya atau dibelakang kita berbuat apa, yang tidak semestinya sebagai makhluk ber-akal. Bagiku kebaikan itu adalah proses menjadi.
Adakah hari esok?
Ku-kenal kamu dari jauh, bergetar hati melihatmu
Matamu bening, suaramu bening
Semangatmu hening, wajahmu lembut
Senyummu lembut wujudmu getarkan rasa.

Ketika malam dibungkus selimut hitam, saat orang meringkuk dikedinginan dalam tidur lelap, Aku masih terjaga, duduk dibalik batu yang bisu di saksikan awan yang muram nampak bergejolak oleh goncangan badai. Ada sesuatu yang membuat aku enggan untuk melenyapkan diri dari alam ketersadaran, yang selalu hadir dan mengusiknya hingga akhirnya aku harus merenung dan memikirkan semua itu yang mesti ada jawaban.
Dengan pengalaman aku mengenal kamu,
Melalui ingatan wajah-mu masih terkenang,
Kesaksian akan itu tak bisa terbantahkan.
Berangkat dari rasa ingin tahu;
Tersirat berbagai pertanyaan?
Nalarku menarik pada kesadaran.
Dengan logika; luruskan jalan kesimpulan ini.

Entah melalui jalan Skeptisme, Subjektivisme, Relativisme, Nihilisme, atau dengan mistisme, ah persetan dengan semua itu! Tiupan angin menusuk tulang, hawa dingin menyelimuti tubuh yang merangsek tulang, sesekali aku bergetar dan menggigil Berbatang-batang rokok telah kuhisap, dua gelas kopi hitam habis ku reguk, namun perasaan itu semakin besar menghujam hingga akhirnya aku pasrah dalam ketertindasan memaknainya. Sambil membatin aku berucap “kehilangan adalah kepedihan, berbahagialah engkau, wahai pecinta, yang tak memiliki apa-apa, maka tidak akan kehilangan apa-apa.
Hati yang gusar,
menatap rasa dingin.
gemerlap cahya bulan; sebatas hiasan
matahari tak cerah lagi
tak ada lagi tiupan angin,
bahkan mimpi-mimpipun akhirnya terkoyak
pekat malam
tak goyahkan jasadku
tuk segera terlelap,eksistensi:
sebatas nyanyian di padang syiria.
Lorong pikiranku
berujung di batas kematian,
sang kekasih;
kehembuskan ayat-ayat cinta dalam mimpimu.
Ketika kau sadar, semuanya telah berlalu.
Tak ada lagi cerita indah
Tersisa hanyalah settitik buih pasir
Ditelapak raga.

Aku tak pernah dapat mengenal seseorang secara utuh pada pertemuan pertama. Kita butuh waktu untuk mengenal bagian terdalam dari diri seseorang. Pertama kali kita mengenali seseorang tentu berdasar kabar mengenai orang itu, kabar itu memberikan banyak praduga dalam diri kita. Lalu pada saat kita melihatnya secara langsung, sebagian praduga itu berguguran, karena melalui pandangan inderawi sendiri kita menemukan keindahan tubuh yang lebih dari apa yang digambarkan orang lain. Kemudian, dengan mencintai keindahan tubuh yang kita lihat, kita akan mencintai bukan lagi keindahan yang kita lihat itu melainkan juga sesuatu yang tidak kelihatan, yaitu jiwa yang indah. Dari sana kita menuju cinta akan pemikiran dan ide-ide yang indah, lalu kita bergerak menuju cinta sejati.

Bila ziarahku usai disini,
Sebelum berpapasan dengan nafas-Mu
Ijinkan aku melesap di petapaan
tanpa ada tangisan.
Usia bukan milik kita; Glang,
Hanya satu, pintaku; Glang,
Jalarkan sebaris Edellweis
Senyummu dipusaraku. Aku
Pergi ketempat yang damai nan kekal:
Seabadi potretmu dihatiku

Keramaian yang selalu menggema seketika terasa diam, hampa, tanpa ada nyanyian manusia yang membicarakan hidupnya. Hanya ada aku yang terdiam dipojok reruntuhan jiwa, jatuh tertimpa kenyataan cinta yang enggan menyapa. Yang dimana semua harapan-harapan pencarian kebenaran akan cinta musnah sudah tanpa ada yang tersisa lagi dan akhirnya mati mengenaskan. Akankah cinta itu mewujud dalam wujudnya yang absolut ?

Ciung Wanara, November 21 th 2007 [05;30 am]
[lelaki Disimpang ke-Gilaan]
Read more!